POSISI Indonesia sebagai salah satu negara berkembang (emerging country) diandalkan untuk menopang perekonomian global. Hal tersebut seiring dengan ancaman perlambatan pertumbuhan ekonomi global akibat krisis utang di Eropa dan Amerika Serikat (AS).
"Dengan ancaman krisis yang berpotensi memperlambat ekonomi global. Posisi kita (Indonesia) dan negara-negara emerging country lainnya, seperti China, Brasil, India, dan Afrika Selatan, menjadi penting. Perekonomian Indonesia harus tumbuh untuk menopang ekonomi global, " kata pengamat ekonomi Universitas Kristen Atma Jaya Jakarta, A Prasetyantoko, Rabu (9/11).
Pernyataan itu menanggapi pernyataan Direktur Bank Dunia Sri Mulyani yang menyatakan Indonesia menjadi salah satu contoh negara yang mampu mempertahankan pertumbuhan. Prasetyantoko yakinBank Dunia berkepentingan dengan negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. "Itulah kenapa Bank Dunia ke sini, yaitu untuk memastikan pertumbuhan ekonomi kita tetap terjaga," katanya.
Terkait potensi pertumbuhan yang dimiliki oleh Indonesia, menurut Prasetyantoko, masih sangat bangus dan kondusif. Gangguan krisis yang terjadi di Eropa dan AS diyakininya tidak akan berdampak jauh terhadap perekonomian nasional secara umum.
"Ekonomi kita sangat bagus. Sama sekali tidak ada masalah. Namun sayangnya terjadi paradoks, bahwa di tengah pertumbuhan APBN kita yang mencapai Rp1.400-an triliun, justru Indeks Pembangunan Manusia kita malah menurun. Ini yang harus kita waspadai," tutur Prasetyantoko.
Fakta paradoks tersebut, lanjut Prasetyantoko, merupakan indikasi bahwa pertumbuhan ekonomi yang selama ini terjadi baru mampu menyentuh kalangan atas saja. Sementara kalangan menengah ke bawah diyakini tidak ikut tumbuh semassif yang dirasakan oleh masyarakat perekonomian atas. "Itu artinya kesenjangan ekonomi makin melebar. Dan itu harus benar-benar diantisipasi, diatasi, agar menghambat potensi pertumbuhan kita yang sudah sangat bagus tadi," tegas Prasetyantoko.
Ekonom CSIS, Pande Radja Silalahi menyatakan meski banyak pihak menganggap krisis global tidak berdampak terhadap perekonomian nasional dalam waktu dekat, berbagai langkah antisipasi perlu dilakukan Indonesia.
Salah satu antisipasi yang dianggap paling mendesak untuk dikerjakan adalah pembenahan sektor riil. Menurut Pande Radja Silalahi, Indonesia perlu belajar sekaligus mengevaluasi terhadap gejolak sosial di Amerika Serikat yang timbul akibat membengkaknya jumlah masyarakat miskin di Negeri Paman Sam tersebut.
"Orang Amerika itu secara umum tidak biasa miskin, sehingga ketika tingkat kemiskinan di sana baru mencapai 10 persen saja, sudah chaos. Nah di sini (Indonesia), orang miskin sudah mencapai 30 juta saja ternyata masih relatif aman. Ini yang perlu kita jaga. Kalau kesenjangan ekonomi makin melebar, yang terjadi di AS pun bisa saja terjadi di sini," ujar Pande.
Dengan koreksi tersebut, Pande menekankan pentingnya memperbesar daya serap sektor riil terhadap aliran dana investasi yang masuk. Pande meyakini pertumbuhan perekonomian sektor riil dapat menjadi obat ampuh atas kesenjangan yang terbangun di masyarakat.
"Alirkan seluruh pertumbuhan yang ada ke sektor riil. Dengan begitu ekonomi masyarakat akan ikut tumbuh dan kesenjangan yang ada perlahan akan teratasi. Dengan begitu pertumbuhan yang ada juga akan semakin kokoh karena ditopang oleh kekuatan sektor riil," tegas Pande.
Analis BNI Ryan Kiryanto mengatakan untuk menangkal krisis, kampanye "Cinta Produk dalam Negeri" perlu digalakan. "Bila terjadi transmisi krisis ke Indonesia, kampanye ini harus digalakan. Jadi ajak masyarakat menggunakan produk lokal. Misalnya Masyarakat jangan menggunakan produk China, yang tengah membanjiri pasar kita" ujar Ryan.
Ryan mengatakan, bila krisis terjadi pemerintah juga harus melakukan optimalisasi produk lokal."Otomatis pemerintah harus segera memberikan modal untuk peningkatan produk ekspor," kata Ryan.
Ryan juga menyoroti perkembangan infrakstruktur, sebagai salah satu faktor pendukung pertumbuhan ekonomi yang masih kurang optimal. Ia pun meminta semua pihak terkait agar bisa mempermudah kebijakan dalam pembangunan infrakstruktur.
"Jangan hanya menyalahkan Menteri Keuangan saja pihak yang bertanggungjawab dalam pembangunan infrakstruktur, karena dia hanya pelaksana. Tapi, penegak hukum dan pembuat kebijakan juga jangan mempersulitnya. Intinya semua ini untuk kepetingan bangsa," kata Ryan.
Pengamat Ekonomi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latif Adam mengatakan, pemerintah sebaiknya mampu meningkatkan daya saing ekonomi lokal di tanah air untuk mendapatkan manfaat yang besar dari integrasi ekonomi ASEAN.
"Harus ada upaya dari pemerintah untuk membuat produk buatan asli Indonesia diterima pasar ASEAN, salah satunya adalah perbaikan infrastruktur di dalam negeri," katanya.
Latif menilai, anggaran pemerintah untuk membangun infrastruktur dalam negeri masih jauh dari ideal. Level ideal anggaran negara untuk membangun infrastruktur sebesar 5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), tambahnya, sedangkan Indonesia masih jauh dari angka tersebut.
"Anggaran pemerintah tahun 2012 untuk infrastruktur dalam negeri baru sekitar 2 persen dari APBN," katanya.
Taufan Sukma/Andhika TS