dimanche 13 novembre 2011

Jurnal Nasional - Kamis, 10 Nov 2011 Halaman 1

Ekonomi RI Jadi Penopang Dunia
Jakarta | Kamis, 10 Nov 2011
Rihad Wiranto

POSISI Indonesia sebagai salah satu negara berkembang (emerging country) diandalkan untuk menopang perekonomian global. Hal tersebut seiring dengan ancaman perlambatan pertumbuhan ekonomi global akibat krisis utang di Eropa dan Amerika Serikat (AS).

"Dengan ancaman krisis yang berpotensi memperlambat ekonomi global. Posisi kita (Indonesia) dan negara-negara emerging country lainnya, seperti China, Brasil, India, dan Afrika Selatan, menjadi penting. Perekonomian Indonesia harus tumbuh untuk menopang ekonomi global, " kata pengamat ekonomi Universitas Kristen Atma Jaya Jakarta, A Prasetyantoko, Rabu (9/11).

Pernyataan itu menanggapi pernyataan Direktur Bank Dunia Sri Mulyani yang menyatakan Indonesia menjadi salah satu contoh negara yang mampu mempertahankan pertumbuhan. Prasetyantoko yakinBank Dunia berkepentingan dengan negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. "Itulah kenapa Bank Dunia ke sini, yaitu untuk memastikan pertumbuhan ekonomi kita tetap terjaga," katanya.

Terkait potensi pertumbuhan yang dimiliki oleh Indonesia, menurut Prasetyantoko, masih sangat bangus dan kondusif. Gangguan krisis yang terjadi di Eropa dan AS diyakininya tidak akan berdampak jauh terhadap perekonomian nasional secara umum.

"Ekonomi kita sangat bagus. Sama sekali tidak ada masalah. Namun sayangnya terjadi paradoks, bahwa di tengah pertumbuhan APBN kita yang mencapai Rp1.400-an triliun, justru Indeks Pembangunan Manusia kita malah menurun. Ini yang harus kita waspadai," tutur Prasetyantoko.

Fakta paradoks tersebut, lanjut Prasetyantoko, merupakan indikasi bahwa pertumbuhan ekonomi yang selama ini terjadi baru mampu menyentuh kalangan atas saja. Sementara kalangan menengah ke bawah diyakini tidak ikut tumbuh semassif yang dirasakan oleh masyarakat perekonomian atas. "Itu artinya kesenjangan ekonomi makin melebar. Dan itu harus benar-benar diantisipasi, diatasi, agar menghambat potensi pertumbuhan kita yang sudah sangat bagus tadi," tegas Prasetyantoko.

Ekonom CSIS, Pande Radja Silalahi menyatakan meski banyak pihak menganggap krisis global tidak berdampak terhadap perekonomian nasional dalam waktu dekat, berbagai langkah antisipasi perlu dilakukan Indonesia.

Salah satu antisipasi yang dianggap paling mendesak untuk dikerjakan adalah pembenahan sektor riil. Menurut Pande Radja Silalahi, Indonesia perlu belajar sekaligus mengevaluasi terhadap gejolak sosial di Amerika Serikat yang timbul akibat membengkaknya jumlah masyarakat miskin di Negeri Paman Sam tersebut.

"Orang Amerika itu secara umum tidak biasa miskin, sehingga ketika tingkat kemiskinan di sana baru mencapai 10 persen saja, sudah chaos. Nah di sini (Indonesia), orang miskin sudah mencapai 30 juta saja ternyata masih relatif aman. Ini yang perlu kita jaga. Kalau kesenjangan ekonomi makin melebar, yang terjadi di AS pun bisa saja terjadi di sini," ujar Pande.

Dengan koreksi tersebut, Pande menekankan pentingnya memperbesar daya serap sektor riil terhadap aliran dana investasi yang masuk. Pande meyakini pertumbuhan perekonomian sektor riil dapat menjadi obat ampuh atas kesenjangan yang terbangun di masyarakat.

"Alirkan seluruh pertumbuhan yang ada ke sektor riil. Dengan begitu ekonomi masyarakat akan ikut tumbuh dan kesenjangan yang ada perlahan akan teratasi. Dengan begitu pertumbuhan yang ada juga akan semakin kokoh karena ditopang oleh kekuatan sektor riil," tegas Pande.

Analis BNI Ryan Kiryanto mengatakan untuk menangkal krisis, kampanye "Cinta Produk dalam Negeri" perlu digalakan. "Bila terjadi transmisi krisis ke Indonesia, kampanye ini harus digalakan. Jadi ajak masyarakat menggunakan produk lokal. Misalnya Masyarakat jangan menggunakan produk China, yang tengah membanjiri pasar kita" ujar Ryan.


Ryan mengatakan, bila krisis terjadi pemerintah juga harus melakukan optimalisasi produk lokal."Otomatis pemerintah harus segera memberikan modal untuk peningkatan produk ekspor," kata Ryan.


Ryan juga menyoroti perkembangan infrakstruktur, sebagai salah satu faktor pendukung pertumbuhan ekonomi yang masih kurang optimal. Ia pun meminta semua pihak terkait agar bisa mempermudah kebijakan dalam pembangunan infrakstruktur.


"Jangan hanya menyalahkan Menteri Keuangan saja pihak yang bertanggungjawab dalam pembangunan infrakstruktur, karena dia hanya pelaksana. Tapi, penegak hukum dan pembuat kebijakan juga jangan mempersulitnya. Intinya semua ini untuk kepetingan bangsa," kata Ryan.

Pengamat Ekonomi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latif Adam mengatakan, pemerintah sebaiknya mampu meningkatkan daya saing ekonomi lokal di tanah air untuk mendapatkan manfaat yang besar dari integrasi ekonomi ASEAN.

"Harus ada upaya dari pemerintah untuk membuat produk buatan asli Indonesia diterima pasar ASEAN, salah satunya adalah perbaikan infrastruktur di dalam negeri," katanya.

Latif menilai, anggaran pemerintah untuk membangun infrastruktur dalam negeri masih jauh dari ideal. Level ideal anggaran negara untuk membangun infrastruktur sebesar 5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), tambahnya, sedangkan Indonesia masih jauh dari angka tersebut.

"Anggaran pemerintah tahun 2012 untuk infrastruktur dalam negeri baru sekitar 2 persen dari APBN," katanya.

Taufan Sukma/Andhika TS

ANCAMAN KRISIS GLOBAL Indonesia perlu waspadai ancaman India dan China

KONTAN, 14 November 2011 (http://nasional.kontan.co.id/v2/read/1321234231/82577/Indonesia-perlu-waspadai-ancaman-India-dan-China-)


JAKARTA. Dampak krisis di Yunani dan Italia yang terus memburuk harus diwaspadai oleh Indonesia. Pasalnya, memburuknya kondisi ekonomi di dua negara ini akan berdampak luas, bukan hanya untuk kawasan, tapi juga secara global.

Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati mengungkapkan jika benar terjadi, maka dampak krisis yang ditimbulkan bagi ekonomi global akibat krisis ekonomi di Italia akan lebih besar ketimbang dampak krisis Yunani.

Alasannya, ekonomi Italia empat kali lebih besar ketimbang ekonomi Yunani. Bagi Indonesia, "Impact (dampaknya) hampir sama dengan (krisis) yang terjadi di Yunani, yakni mitigasinya kemungkinan implikasinya lewat dua hal, dampak terhadap ekspor kita karena demand turun dan ekspor lewat harga-harga yang turun. Kedua dari sisi kalau dia punya rembetan kepada perbankan," ungkapnya.

Untuk dampak ke sektor perbankan di Indonesia, Anny masih optimis kemungkinannya sangat kecil karena kondisi perbankan nasional cukup sehat dan rasio kredit bermasalah (NPL) perbankan masih cukup rendah.

Hanya saja, Anny mengingatkan hal lain yang perlu diwaspadai adalah ancaman derasnya arus modal masuk. Meski tak sekencang tahun ini, tapi Anny menuturkan tahun depan aliran modal masuk ke Indonesia masih akan terus mengalir. Makanya, Indonesia harus siap memanfaatkan arus modal masuk ini agar mengalir ke sektor riil.

Pengamat ekonomi dari Universitas Atmajaya A.Prasetyantoko mengungkapkan Italia skala ekonomi Italia yang lebih besar dari Yunani memang menjadi ancaman baru bagi Uni Eropa. Pasalnya, "Kalau sampai terjadi gagal bayar, beban Uni Eropa dan dunia akan sangat berat, sehingga potensi resesi global lebih besar," jelasnya Minggu (13/11).

Ia menambahkan, jika prospek ekonomi di kawasan Uni Eropa melemah, maka secara global ekonomi dunia ikut lunglai. Nah, imbasnya ekspor Indonesia ke kawasan ini juga akan menurun. "Penurunan ini tidak saja terjadi ke negara tujuan ekspor utama kita ke Eropa seperti Jerman dan Prancis, tapi secara umum ekspor ke kawasan Eropa akan melemah," ujar Praseytantoko.

Catatan saja, selama ini pangsa ekspor Indonesia terbesar di Uni Eropa adalah Jerman, Inggris dan Prancis. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang Januari - September 2011 total ekspor Indonesia ke Uni Eropa sebesar US$ 15,661 miliar, sebanyak US$ 2,54 miliar disumbang dari ekspor ke Jerman, US$ 1,28 miliar dari Inggris dan US$ 999,8 juta ke Prancis. Sisanya adalah sumbangan dari negra Eropa lainnya.

Indonesia di lapis ketiga

Sebelumnya, Ekonom Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan juga bilang dalam skenario terburuk, Uni Eropa akan meredam krisis Yunani agar tidak meluas ke negara tetangga seperti Italia dan Spanyol. Dari sisi perbankan adalah dengan cara memperkuat perbankan Eropa, sebab jika harga surat utang Eropa jatuh maka imbasnya perbankan Eropa bisa mengalami kekurangan modal yang berdampak pada kekeringan likuiditas. "Memang pengaruh (dari sisi perbankan) Uni Eropa ke Indonesia tidak terlalu besar, tapi tetap perlu diwaspadai," katanya.

Sebenarnya, Prasetyantoko bilang yang perlu diwaspadai oleh Indonesia adalah jika memburuknya perekonomian kawasan Uni Eropa ini sudah merembet ke perekonomian global. "Selama ini dari sisi perdagangan Indonesia paling besar ke China dan India. Kalau dua negara ini sudah terkena imbas perlambatan global, otomatis Indonesia akan terpukul," ujarnya.

Pengamat Ekonomi Aviliani juga menambahkan, jika China dan India mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi, maka dampak langsungnya akan dirasakan oleh Indonesia. "Ekspor Indonesia sudah pasti terpukul," ungkapnya.

Di sisi lain, jika ekonomi Uni Eropa melemah, maka India dan China akan mencari pasar baru bagi produknya yang selama ini dipasarkan ke Uni Eropa. "China dan India pasti akan mencari pasar baru kika Eropa dan AS terkena krisis. Dan yang pasti impor dari China akan lebih besar," kata Aviliani.

Makanya, di dalam negeri, Aviliani bilang pemerintah harus memperbaiki daya saing di dalam negeri agar perdagangan domestik tetap kuat dan tidak tergerus oleh produk impor.